Ad Section

banner image

Bali Art Now: Hibdirity, Jogja Gallery, 25 April - 8 Mei 2008

UNDANGAN / INVITATION

Jogja Gallery mengundang Anda untuk mengapresiasi pameran seni visual
Jogja Gallery cordially invites you to appreciating the visual arts exhibition

BALI ART NOW : HIBRIDITY
at Jogja Gallery, Yogyakarta, Indonesia / 25 April - 8 May 2008

Pameran akan dibuka oleh / the exhibition will be officiated by
GBPH Joyokusumo
[Anggota DPR RI Komisi IV Bidang Ekonomi]


Perupa peserta pameran/Participating artists:
AT. Sitompul, Agung Putra Dela, Agus Putu Suyadnya, Budi Agung Kuswara Gede,
Ida Bagus Komang Sindu Putra, I Dewa Made Mustika, I Gede Arya Sucitra, I Gede Suanda,
I Gusti Made Wirata, I Gusti Ngurah Udiantara a.k.a Tantin, I Kadek Agus Ardika,
I Kadek Dedy Sumantra Yasa, I Made Adinata Mahendra, I Made Gede Putra, I Gede Made Surya Darma,
I Made Arya Palguna, I Made Aswino Aji, I Made Bakti Wiyasa, Made Muliana a.k.a Bayak,
I Made Kenak Dwi Adnyana, I Made Ngurah Sadnyana, I Made Suarimbawa a.k.a Dalbo,
I Made Supena, I Made Wiguna Valasara, I Made Wirata, I Made Widya Diputra a.k.a Lampung,
I Nengah Sujena, I Nyoman Darya, I Nyoman Adiana, I Nyoman Sukari, I Nyoman Suyasa,
I Nyoman Triarta AP, I Putu Aan Juniartha, I Wayan Gawiartha, I Wayan Legianta,
I Wayan Sujana a.k.a Suklu, I Wayan Upadana, I Nyoman Agus Wijaya,
Ketut Sugantika, Ketut Suwidiarta, Ketut Teja Astawa, Made Galung Wiratmaja,
Made Toris Mahendra, Nyoman Sujana a.k.a Kenyem, Putu Adi Gunawan,
Tjokorda Bagus Wiratmaja, Wayan Kun Adnyana,
Widhi Kertiya Semadi, Willy Himawan




Buah Kuldi Hibrida

(Pengantar Kuratorial “Bali Art Now: Hibridity”)

Oleh Mikke Susanto





Pameran ini didahului oleh sejumlah pertanyaan dan ‘kegelisahan’. Setelah berulang kali berkunjung ke Bali, masih saja yang kuat mengakar dalam pikiran saya adalah seni ulayah.[1] Seni-seni semacam ini masih mendominasi dibanding perkembangan seni modern/kontemporer. Seni ulayati Bali ini berkembang dalam dua arus besar: seni lukis tradisional-klasik dan seni modern-turistik. Keduanya terus mendapat dukungan yang kuat. Kekuatan dan dominasi seni ulayah cenderung menguat karena mendapat legitimasi dan dorongan sosial, religi dan ekonomi.[2] Meskipun di Bali sudah tak terhitung jumlah sarjana seni berpendidikan Barat, toh saat ini masih sangat sedikit perupa-perupa avant-garde yang ada di sana. Inilah pertanyaan dan kegelisahan pertama yang melatari munculnya ide pameran ini.

Sejarah panjang perkembangan budaya di Bali memberi sumbangan menarik dalam pameran ini. Asumsi bahwa perkembangan seni-budaya ini secara terus-menerus terkait dengan fenomena akulturasi adalah hal yang signifikan untuk dibahas lebih lanjut. Sehingga meskipun aroma seni ulayah masih mendominasi, membicarakan seni akulturasi dalam periode mutakhir juga amat menantang.

Artinya, jika proses akulturasi berjalan terus-menerus, apa yang menjadi tanda terjadinya proses itu pada saat ini? Adakah perkembangan baru dalam seni rupa Bali kini? Pikiran-pikiran apa sajakah yang mewarnai? Benturan-benturan seperti apakah yang kini banyak dialami oleh perupa mutakhir bali? Inilah sejumlah tawaran yang ingin dikemukakan dalam pameran yang mengetengahkan sekitar 50 perupa muda Bali yang saat ini sedang dalam masa produktif.



‘Origin’ of Bali

Tajuk ‘Hibriditas’ sengaja diketengahkan untuk menengahi pergulatan pemikiran yang terjadi pada diri perupa. Secara semantik, istilah ‘hibrid’ dalam Oxford Dictionary adalah (sebagai kata benda) ‘sesuatu yang dibuat oleh kombinasi 2 (atau lebih) elemen yang berbeda’. Sedangkan sebagai adjektif atau kata sifat berarti ‘percampuran karakter, komposisi yang terdiri dari berbagai campuran’.[3]

Jika dilacak secara umum, sebagian besar perupa (terutama seniman modern Indonesia) dapat dipastikan ia mengalami hibridasi. Namun dalam beberapa kasus tertentu seperti Bali, banyak pertautan dan keunikan yang menarik untuk dikemukakan. Persoalan pertama muncul: terdiri dari apa sajakah seni rupa (lukis) Bali yang hibrid ini? Adakah atau manakah yang ‘asli’? Mari kita telusuri bagian tersebut.

Agus Dermawan T. menyuguhkan asumsi bahwa seni lukis Bali baru dikenal abad ke-11. Tepatnya ketika sejumlah prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Anak Wungsu terdapat istilah Aringit yang memberikan tanda-tanda adanya kelompok yang memiliki keahlian melukis. Dalam prasasti tersebut terdapat beberapa gambar bermotif wayang yang menggambarkan Batara Siwa. Perkembangan lain terlihat dalam naskah-naskah kuno berupa lontar-lontar. Kitab lontar ini biasanya berisi tentang legenda atau cerita wayang. Agus memastikan inilah cikal-bakal seni lukis klasik Bali, yang sampai saat ini masih ada di beberapa tempat di Bali.[4]

Sedangkan sejarawan Claire Holt[5] menandai bahwa kebudayaan yang berkembang di Bali merupakan budaya Hindu-Buddis yang masuk lewat invasi Majapahit, Cina dan India Belakang (Asia Tenggara). Pendapat ini didasari opini sejarawan Stutterheim bahwa seni lukis kuno Bali dibagi menjadi 3 periode: (1) periode Hindu Bali abad ke-8 sd. Ke-10 yang secara langsung mendapat pengaruh dari India (buddisme) dan Jawa,(2) masa Bali Kuno abad ke-10 sd. 13 dimana pengaruh India diadaptasi dan digabung menjadi sebuah seni yang jelas Bali, (3) periode Bali Tengah yang berkembang selama abad ke13 sd. 14, yang membentuk sebuah transisi ke seni modern. Artinya dari asumsi ini terdapat kenyataan bahwa seni lukis Bali sejatinya sudah mendapat percampuran sejak awal yang kemudian diadaptasi menjadi seni Bali sesungguh-sungguhnya.

Sedang Jean Coteau menangkap hal yang sama bahwa seni rupa prakolonial Bali adalah warisan dari tatanan budaya agraris Hindu-Buddha yang berkembang sejak abad ke-10, ketika didirikan kerajaan-kerajaan yang ter-‘India’-kan yang pertama. Termasuk di dalamnya adalah invasi Majapahit tahun 1343. Seni lukis masa itu didominasi genre wayang yang difungsikan untuk memenuhi puri.[6]

Seni lukis klasik prakolonial ini berkembang hampir di seluruh pulau Bali. Seni lukis Kamasan, dekat Kab. Klungkung, berkembang sejak abad ke-15. Di wilayah Bali Aga, Karangasem juga muncul dan menawarkan konsep gambar yang lebih sederhana dibanding Kamasan. Sedang di Ubud menyerupai seni lukis Kamasan. Sekitar abad ke-19 desa Kerambitan berkembang seni lukis wayang yang cenderung mengalami deformasi yang lebih ekstrem. Pada masa yang lebih muda, gaya Batuan muncul, tepatnya di desa Sukawati Gianyar yang coraknya lebih detail. Pada masa sekarang yang juga masih berkembang adalah seni lukis kaca Singaraja, tepatnya di desa Nagasepaha yang dipelopori oleh Jero Dalang Diah yang kerap mengangkat dunia wayang dalam seni lukisnya.

Sekali lagi, secara sekilas dan dari beberapa catatan, inilah yang banyak dianggap sebagai seni lukis klasik Bali.



Hibridasi Awal: Lingkungan Sosial

Jika dilihat dari pengertian bahwa yang ‘orisinal’ dari Bali adalah seni Indo-Jawa atau Indo-Asia, maka wacana percampuran dan hibridasi awal, dimulai pada masa kolonial. Hibridasi yang dimaksudkan di sini lebih diarahkan dalam pengertian percampuran seni klasik Bali dengan seni modern/Barat. Hibridasi pada saat ini berkembang masuk ke dalam lingkungan sosial sehingga memengaruhi tata dan sistem yang sudah ada (berbeda dengan hibridasi lanjutan, dimana seniman lebih aktif keluar wilayah).

Dari dua kutub yang berbeda tersebut terjadi persilangan yang amat ekstrem, sehingga memunculkan perkembangan yang berkarakter kuat pula. Dengan demikian nantinya akan terlacak sejauh mana akulturasi atau percampuran ide atau ideologi perupa Bali dalam karya-karyanya, terutama yang terkait dengan perkembangan seni terkini yang dipamerkan di Jogja Gallery ini.

Alasan lain, pengaruh dan intervensi yang melahirkan hibridasi awal adalah terletak di 2 sumbu. Pertama munculnya semangat eksplorasi mencari wilayah (surga) baru. Sebagai contoh seperti yang dilakukan Paul Gauguin ke Tahiti. Bali yang sedang trend pada masa kolonial (pada era 1920-an) juga telah dikenal sebagai ‘surga’ (karena foto-foto gadis sedang mandi telanjang) sudah banyak mengundang keinginan para eksplorator estetik. Kedua, munculnya ilusi modernitas di kalangan elite Bali. Beberapa perupa asing seperti Walter Spies dan Bonnet menjadi tanda dan bentuk kemodernan para elite saat itu. Mereka berdua dapat dengan mudah mempengaruhi kalangan seniman, karena hidup dalam naungan puri.[7]

Evolusi seni rupa Bali pertama dimulai di Buleleng (Bali Utara) pada abad ke-19.[8] Di sini para pelukis mulai dikenalkan gambar pada kertas yang hanya memuat satu adegan saja, bukan narasi lengkap seperti biasanya. Seorang linguistik, Van der Tuuk tercatat pernah memesan beberapa gambar pada mereka. Sampai di abad ke-20 seniman-seniman Buleleng sudah membuat tema baru, seperti gambar orang bersepeda seperti yang terdapat pada Pura Maduekarang, Kubutambahan, Buleleng. Orang bersepeda yang pertama di Bali 1904 tersebut adalah pelukis ternama asal Belgia, W.O.J. Nieuwenkamp.

Sekularisasi juga memberi peran munculnya ide-ide baru. Di sini pemisahan antara kebebasan berekspresi dan individualisme mulai muncul pula. Profanisasi seni lukis Bali ini disertai perkembangan teknologi dalam melukis juga dikenalkan oleh pelukis Barat yang datang dan menetap di Bali. Munculnya Balisering[9] dan para pelukis seperti Walter Spies, Rudolf Bonnet dan beberapa lainnya memberi perubahan yang signifikan. Munculnya kelompok Pitamaha (1936) sebagai bagian dari internasionalisasi seni lukis klasik Bali--yang dimediasi Bonnet untuk berpameran di beberapa museum di Eropa--juga memberi dorongan pengaruh di dalamnya.

Sebagai contoh, hibridasi pada kelompok Pitamaha terjadi dengan munculnya ide atau tema. Banyak sekali karya yang menguak pemandangan Bali yang eksotik (karena pengaruh priwisata), tidak lagi pada narasi wayang atau legenda semata. Secara teknik, pemakaian teknik lukis terjadi misalnya pemakaian chiaroscuro (penonjolan unsur gelap terang) dan anatomi yang mulai realistik. Dalam kelompok lain seperti Young Artist, perupa Belanda yang datang ke sana, Arie Smit, memberikan nuansa Fauvisme (warna cerah yang datar, tanpa kontur dan cenderung memberi kebebasan meresepsi alam). Atau pada kelompok Community of Artist di bawah pimpinan Nyoman Batuan yang menerapkan pendekatan ‘close-up’ terhadap elemen alam yang dijadikan tema. Ditambah lagi munculnya karakter dan gaya pribadi pada era pasca-Pitamaha.

Dari sinilah kemudian proses lain berlanjut. Perkembangan pemikiran Barat kemudian banyak melahirkan karya-karya yang bersifat individual dan tidak lagi bersifat ke ranah religius, adat istiadat maupun karya-karya yang cenderung milik sebuah komunitas. Berkembangnya modernitas di lingkungan masyarakat Bali akhirnya menyediakan ruang lain yang lebih bebas dan bahkan melahirkan ke-‘liar’-an pemikiran. Dalam hal ini, karena proses hibridasi (awal) persoalan pembahasan seni rupa pun menjadi lebih kompleks seiring munculnya dunia pemikiran dan ideologi kontemporer yang mengikutinya.



Hibridasi Lanjutan: Pendidikan Seni Formal

Pameran ini bertujuan mendapatkan gambaran pemikiran perupa-perupa Bali yang merupakan hasil didikan akademis. Meskipun demikian, pameran ini dengan sengaja melakukan pembatasan lebih rinci, yaitu perupa muda akademis (baik lulusan, jebolan maupun yang masih berstatus mahasiswa) dari 3 perguruan tinggi: ISI Yogyakarta, ISI Denpasar dan FSRD ITB. Hal ini didasari karena lembaga pendidikan tinggi seni formal--dengan berbagai mata kuliah yang cenderung memiliki prespekif Eropa--semacam ini menjadi medan yang intensif untuk menjadikan seseorang menjadi figur baru atau hibrid.

Lembaga akademis memang menjadi sentral transfer of knowledge sehingga perannya saat ini mendominasi perkembangan yang ada, terutama di Bali. Jika ada masa 1970-an, seperti yang dicatat oleh Jean Coteau, ada babak baru ketika peran akademis masuk, terutama pada babak antara 1950-1990. Di sana muncul Nyoman Tusan (ITB lulus 1961), Nyoman Gunarsa (ASRI, lulus 1967), sampai munculnya Putu Sutawijaya (ISI Yogyakarta, lulus 1998), I Nyoman Masriadi (ISI Yogya, tidak selesai) yang membawa aroma baru pada seni lukis Bali. Bahwa kemudian seni lukis Bali lebih mengandung aroma lebih ‘alamiah’ dan modernis betul adanya. Ada pergulatan dan percampuran antara ‘formalisme modernis ala ITB’ dan ‘ekspresionisme nasionalis ala ASRI’ yang terbentuk diantara mereka pada masa antara tersebut.

Maka dalam situasi pluralisme yang terjadi saat ini--dimana era seni kontemporer lebih berbasis pada ideologi postmodern--banyak hal yang telah berhamburan. Kelokalan dinisbikan, diterjang, atau bahkan dikecam dan ‘dikianati’. Banyak perupa muda era 2000-an telah beralih rupa dan tema, berkarya pada konstruksi anti-kemapanan dan kontra-tradisi. Gelombang gaya modernis yang dibawa oleh senior mereka hanyalah sebagai media untuk mengenal ‘dunia lain’, tidak menjadi tujuan dari kerja mereka. Di sana juga terjadi perpindahan komitmen tentang sikap ke-Bali-annya.

Keberhasilan gaya ‘pendobrakan’ Nyoman Masriadi di era 90-an, bagi sebagian generasi mutakhir seni rupa Bali memang menjadi inspirasi besar bagi mereka. Kemampuan menafsir dunia di luar Bali pada senior lain seperti Pande K. Taman, Putu Sutawijaya, Sumadiyasa, Nyoman Sukari dalam menjalankan ideologinya masing-masing juga memberi tambahan tenaga bagi yuniornya saat ini. Di sisi lain, sejarah ‘pemberontakan’ Made Wianta, yang meskipun tinggal di Bali ia tak kehilangan daya dobrak kelokalannya, menjadi bagian yang terus dicerna oleh sebagian mereka perupa muda yang tinggal di Bali. Atau ‘keberingasan’ berkarya model Nyoman Nuarta di Bandung, juga melahirkan sosok-sosok baru yang mulai tidak kalah menariknya. Sosok semacam ini terjadi pada generasi sekarang seperti pada diri Willy Himawan (Seni Lukis ITB, lulus 2005).

Dalam pameran ini terlihat bahwa sebagian besar perupa peserta telah melakukan pengejawantahan hal-hal yang lebih kompleks dan plural. Hampir sulit menemukan tanda atau simbol-simbol Bali klasik. ‘Origin of Bali’ kian ditinggalkan. Mereka tak lagi bicara tentang dunia Bali, namun cenderung bercerita tentang diri sendiri dan pengaruh-pengaruh yang didapatkannya. Sikap-sikap internasional telah mengemuka, karena mereka lebih aktif dibanding perupa pada masa Pitamaha yang cenderung dibawa atau dipamerkan oleh orang asing ke luar negeri.

Selain kurikulum akademis, masuknya informasi seni yang berkembang dari negara luar turut menjadikan mereka hibrid, menerjang segala hal, dan telah menjadikan mereka melakukan alienasi kultural. Meski demikian alienasi kultural dalam hal ini lebih dikarenakan oleh kesadaran dan wawasan individu yang meningkat, daripada alienasi yang terjadi di masa sebelumnya di Bali yang lebih disebabkan oleh ‘pemaksaan’ kebijakan lokal akan adaya konsep wisata.

Inilah gambaran sekilas wacana hibriditas yang sempat saya catat di balik gemerlap seni Bali yang masih didominasi seni ulayah. Sebagai akhir, saya hanya ingin mengucapkan selamat datang dalam perjalanan yang penuh perubahan. Selamat datang di ‘kampus’ para akulturis. Selamat datang di Surga yang ‘baru’, dimana buah kuldi hibrida banyak dijual di sana. +++


[1] Ulayah (dari bahasa Arab) atau seni ulayati berarti seni wilayah, daerah, kawasan (JS. Badudu, Kamus Kata-Kata Serapan Asing dalam Bahasa Indonesia, Gramedia, Jakarta, 2003). Istilah ini dikenalkan pertama kali pada saya oleh penari terkemuka saat ini Sardono W. Kusumo, yang lebih senang menyebut istilah ini daripada istilah ‘tradisi’ atau seni tradisi. Menurutnya istilah “tradisi” lebih berarti sistem daripada gaya atau kata benda dan sering menjebak persepsi dalam bahwa ‘tradisi’ cenderung mandek dan tidak bisa dikembangkan.

[2] Agus Dermawan T. & Suteja Neka, “Peta & Tata, Selintas Perjalanan Seni Lukis Tradisional Bali” dalam Agus Dermawan T., Bali Bravo, Leksikon Pelukis Tradisional Bali 200 Tahun, Bali Bangkit, Jakarta, edisi kedua 2007. Dalam tulisan ini digambarkan seni lukis abstrak (seni modern yang berkembang karena selera turis) mendapat tempat lebih baik dalam komersialisasi seni lukis di Bali, terutama di Ubud. Dan dalam buku ini tercatat 300 riwayat singkat perupa tradisional/ klasik Bali.

[3] Secara etimologis, hybrid berasal dari hybrida (Latin) yang dipakai pada abad ke-17 , sebagai kata benda (noun), yang berarti “anak hasil dari keturunan babi jinak dan babi liar, atau anak dari persetubuhan antara lelaki preman dan pelacur, dan sebagainya”.

[4] Ibid., p.17. Catatan yang sama juga terdapat di I Made Bendi Yudha, “Seni Lukis Bali dalam Perkembangan Seni Lukis di Indonesia”, paper S-2, ISI Yogyakarta, 2003.

[5] Claire Holt, Melacak Perkembangan Seni di Indonesia, terj. RM. Soedarsono, Bandung, Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 2000, p. 241-242.

[6] Jean Coteau, “Wacana Seni Rupa Bali Modern”, dalam Adi Wicaksono dkk (eds.), Paradigma & Pasar, Yogyakarta, Yayasan Seni Cemeti, 2003, p. 106. Adapun fungsi seni lukis Bali klasik tersebut lebih banyak dipakai sebagai bagian dari kehidupan adat istiadat dan agama. Istilah seniman atau pelukis belum dikenal, sehingga juru lukis atau juru patung lebih banyak disebut sangging. Menariknya, kehidupan sangging mulai eksis dari masa munculnya kerajaan, kedatangan bangsa Barat, pendudukan Jepang, revolusi Kemerdekaan hingga sekarang. Mereka hidup atas sponsor adat dan religi yang menguat di Bali. Sehingga terkadang agak aneh untuk membandingkan istilah ‘sangging’ dan ‘pelukis’ pada saat ini. Padahal secara historis dua istilah tersebut lahir pada jalur yang sama atau linier, namun secara semantik berbeda (apakah seorang Made Wianta, adalah juga sangging? Rasanya agak aneh terdengar).

[7] Informasi ini saya dapat dari tulisan Jean Coteau, ibid. namun kemudian saya olah dan menjadi istilah ‘sumbu’ bukan ‘ilusi’ seperti yang ditulis Coteau, karena istilah ‘sumbu’ lebih tampak sebagai pemantik yang jelas terjadinya, daripada sekadar kata ‘ilusi’ yang tidak tampak secara nyata.

[8] A. Vikers, “Innovation in Tradition”, dalam Hildawati Soemantri, Heritage Indonesia: Visual Arts, Singapore, Archipelago Press, 1998.

[9] Balisering artinya usaha untuk mem-Bali-kan orang Bali. Hal ini dilakukan karena Bali telah mengalami pergeseran-pergeseran karena pengaruh kedatangan orang asing yang membawa orientasi ekonomi yang kuat pada masyarakat Bali, seperti menerima pesanan lukisan dan kurikulum pendidikan formal yang membawa pola pikir baru.



Informasi dan kontak:



Nunuk Ambarwati [Program Manager]

JOGJA GALLERY

Jalan Pekapalan No 7, Alun-alun Utara, Yogyakarta 55000 INDONESIA
Phone +62 274 419999, 412021

Phone/Fax +62 274 412023

Phone/SMS +62 274 7161188 / +62 888 696 7227

Email jogjagallery@yahoo.co.id / info@jogja-gallery.com

http://jogja-gallery.com
Bali Art Now: Hibdirity, Jogja Gallery, 25 April - 8 Mei 2008 Bali Art Now: Hibdirity, Jogja Gallery, 25 April - 8 Mei 2008 Reviewed by Apri Hendri S. on Rabu, April 23, 2008 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Adsense 728x90

Diberdayakan oleh Blogger.